Wednesday, February 27, 2019

Maaf Ibu

Apalagi yang perlu diperjuangkan, di kala diri tak ingin beranjak

Jangankan untuk sembuh, untuk menjadi lebih bermanfaat saja enggan

Ibu, maafkan aku yg merepotkanmu. Menjadikan kesal yang ada setiap harinya

Maafkan aku yang tak berguna apa-apa ini

Aku hanya ingin mati, dan menyudahi semua ini

Aku ingin pergi, hilang, dan tidak diingat lagi pun diri ini rela

Daripada hidup yang tak berguna bagi orang lain dan membuat orang lain malas menemani

Ibu, aku lelah. Rasanya ingin sekali kembali dalam hangatnya kehidupan di rahimmu

Tiap malam berharap tidur sampai tak terbangun lagi setelahnya

Ibu, bertahanlah. Aku juga akan terus bertahan demi gelap lorong permasalahan yang panjang ini, yang seolah tak ada ujungnya

Maafkanku yang tak ingin sembuh, maafkanku untuk kesekian kalinya karena aku tak ingin pulih

Maafkan aku, ibu.

Friday, January 18, 2019

Gadis Pembenci Rumah

Pikirannya hanya satu, bermain-main, ia tak perduli terhadap apapun pekerjaan rumah. Ia tak perduli ibunya mencuci baju, atau menyetrika, ia juga tak perduli keadaan rumah sedang bersih atau kotor.

Kalau tidak main ia pasti tidur, tidur saja mengistirahatkan otaknya yang tak imbang zat kimianya, baca depresi. Tak ada yang bisa mengerti keadaannya, tak satupun bisa karena dia sudah dicap sebagai pemalas kelas berat yang juga tukang tidur. Tak ada satupun yang mengerti itu.

Ia hanya memikirkan pertemuannya dengan segelintir orang yang ia punya dan bisa membuatnya sedikit tersenyum. Duduk berjam-jam di pusat perbelanjaan atau sebuah hotel untuk membicarakan sesuatu ngalor ngidul. Segelintir orang saja, beberapa orang yang sayangnya hanya perduli saat ia tak lagi sempat mengharapkan kembali karena terlalu lama membayangkan akan segera dibersamai.

Ia dan lamunan sehari-harinya. Selalu saja begitu. Kasihan sekali bukan?

Saturday, January 12, 2019

Obrolan random tentang cinta

Sebenarnya apa yang disebut cinta jika setiap harinya kamu hanya menggerutu tak tenang dan merasa sendirian? Cinta itu kata kerja, cinta bukannya duduk diam dan merasakan. Aku yang depresi pun berani mengatakan bahwa cinta adalah sebuah perbuatan yang dilakukan dua belah pihak yang melakoni cinta itu sendiri. Bukannya hanya sebelah tangan alias sepihak saja.

Hidupku gelap, aku masih depresi, tapi untuk cinta aku memilih lebih berhati-hati mengatakannya karena bisa saja ada orang yang mencintaiku tapi aku tidak. Makanya aku lebih memilih menyimpannya dalam hati lalu meluapkannya pada orang yang tepat. Sebenarnya aku juga egois, aku mencintai orang lain yang tak mencintaiku lalu mengejarnya sesekali. Aku sadar aku sangat ingin dikasihani dengan cara yang salah yakni pemaksaan yang aku sendiri juga merasakannya. Menjadi dipaksa rasanya tidak mengenakkan, mungkin aku harus belajar lebih banyak. Aku sedang dicintai orang lain yang tidak ku cintai, dia diam, walau terkadang mengatakan bahwa ia menginginkanku. Aku merasa sangat tidak enak karena aku dicintai orang lain yang boleh jadi sangat tulus, sedang aku tak menginginkannya oleh alasan yang jelas bisa diterima akalku, aku tidak menginginkannya. Jadi untuk apa repot-repot mencintaiku, bukan?

Di dunia ini sulit sekali mencintai dua arah, maksudnya saling mencintai. Aku mencintainya, tapi dia yang ku cintai bisa jadi mencintai orang lain yang juga tidak mencintainya. Sungguh sulit sekali mencari cinta yang bisa bersambut.

Monday, November 12, 2018

Curhat Seorang Adik

Sore ini sedikit berbeda. Biasanya aku hanya berbaring di tempat tidur sambil main hp atau sekadar bermalas-malasan, tapi kali ini diajak adikku pergi menemaninya ke toko buku bekas di tengah kota. Aku yang jarang mengendarai sepeda motor pun disuruh membonceng adikku yang sedang asik memainkan ponselnya.

Selama perjalanan ada beberapa kali aku melakukan kesalahan seperti lupa membenarkan posisi kaca spion hingga tak jarang berbuat ceroboh yang mengarah hampir menabrakkan motor dengan pengendara lain. Semua tampak biasa saja hingga setelah membeli buku bekas, tepatnya saat akan pulang aku menyabrang ke seberang jalan dengan teledor hingga tak memerhatikan bahwa ada kendaraan yang melaju kencang dari kanan. Sontak adikku teriak dan 'nyebut' sambil menepikan aku ke tempat yang lebih aman. Dalam teriakannya ia tegas menyuruhku berpindah ke jok belakang dan duduk saja diboncengnya. Setelah berpindah meluncurlah perkataan-perkataan yang tidak ku sangka meluncur dari mulut adikku yang sungguh amat bijak di usianya yang terpaut lima tahun dariku.

Sebenarnya adikku menangis bukan karena aku saja, tapi lebih terbawa perasaan oleh salah satu saudara kami yang baru beberapa hari lalu meninggal dunia karena kecelakaan di jalan yang kami lewati saat menuju ke toko buku bekas hari ini. Sebelum mengata-ngataiku sebagai kakak yang tidak becus, adikku mengatakan banyak hal yang betul adanya. Kata adikku, kalau ingin mati jangan mengajak orang lain, sebab ia masih ingin kuliah sampai s3. Adikku juga bilang kalau setiap hari mamaku mengajak ngobrol via Whatsapp jika mama sering mengeluhkan tingkahku yang cenderung egois dan susah diatur.

Pemikiranku tentang ketidaksembuhan diri sering dikeluhkan mama pada adikku disela jam sekolah setiap harinya. Berulang kali adikku mengatakan bahwa ia sekarang tahu apa yang dirasakan mama selama ini, selama merawat aku yang sakit namun tak ingin sembuh ini. Adikku tahu betapa hancur perasaan mamaku mengerti anak pertamanya yang sering mengatakan bahwa hidupnya telah berantakan. Adikku berkata,
"Jangan lihat aku, jangan lihat ayah, coba kasihan sama mama aja." kepadaku yang tampak biasa saja menghadapi seorang adik yang bercerita dalam isak tangis selama perjalanan pulang dari toko buku ke rumah.

Sekonyong-konyong adikku mengatakan bahwa sampai kapanpun nanti ia yang akan bertanggung jawab atas kedua orangtua dan aku, kakaknya yang tak tahu diri dan lebih mirip anak usia lima tahun ini tingkah perilakunya. Ia menangis dengan sangat keras hingga bahunya naik turun. Saat lebih tenang ia menanyakan padaku mengapa aku tidak ingin sembuh dan menyinggungku tentang kepercayaan akan Tuhan. Cerita perjalananku beragama ditanyai dengan sangat detail oleh adikku yang kini menatapku nanar, seperti tidak menyangka aku menjawab pertanyaannya dengan lugas. Semua baik-baik saja sampai adikku mengatai diriku iblis. Katanya ia sedang bicara tidak dengan kakaknya yang biasa ia kenal, bukan anak mama dan ayah, bukan seorang Hanny yang sehari-hari dikenal agamis dan relijius.

Aku meminta agar berhenti ke restoran ayam untuk memesan minuman melalui layanan drive thru. Adikku mengiyakan sambil menyeka sisa-sisa tangisannya. Aku mulai berpikir jernih, merasa iba atas apa yang dirasakan adikku padaku dan kemarahannya yang kali ini lebih jelas disebabkan oleh aku. Aku meminta maaf walau seperti tidak serius. Adikku terus menyalahkanku yang tidak mau bangkit dari keadaan sakit.

Belum sampai disitu, ternyata adikku masih menangis hingga hampir mencapai rumah. Ia berhenti di supermarket dekat rumah dan menyuruhku pulang sendiri. Ia sedang menenangkan tangis sendirian dan menyuruhku mengatakan pada mama bahwa ia sedang ada acara dengan teman sekolahnya dan nantinya pulang sendiri menggunakan ojek online. Hatiku hancur seketika. Adikku, yang lebih bisa disebut kakak sedang melindungiku dari amukan mama dan ayah. Ia berbaik hati untuk tidak menceritakan kejadian tadi pada orangtua kami.

Selanjutnya di perjalanan pulang sendiri aku merenung, berpikir untuk menuangkan perasaan ini kedalam sebuah cerita. Meminum obat malam dan mungkin akan menghubungi psikologku untuk mencari kekuatan, menceritakan juga kejadian barusan sambil menyelesaikan tulisan ini. Yah bagaimana ya, memang begini adanya, mau diapakan lagi?

Monday, November 5, 2018

Tidak Ingin Sembuh

Perjalanan masih panjang, kali ini akan bercerita bagaimana bisa hidup namun tak ingin sembuh. Ya, betul sekali, aku minum obat tapi jika ditanya apakah aku ingin sembuh maka aku menjawab tidak. Sebenarnya ini pemikiran yang sangat rusak, aku pernah mencoba berusaha menjadi dokter tapi tidak kesampaian, akhirnya aku berpikir, bagaimana jika aku menjadi pasien saja agar masih bisa pergi ke rumah sakit. Alasan yang sama sekali tidak masuk akal.

Setiap saat aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk tidur seperti tanpa beban. Dan aku tidak punya alasan lagi untuk bangun. Rasanya waktu berjalan lama sekali.

Friday, October 26, 2018

[SINOPSIS] Merawat Luka

“Maaf sekali lagi, luka?” aku ditanyai temanku, nyaris tak terdengar gaungnya sama sekali. Katanya luka hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang bertangan, memiliki organ yang kemungkinan akan mencelakaiku dengan pisau atau apapun benda tajam lain. Oke jika mulut juga bisa melukai dengan perkataan, tapi apakah gedung bisa ngomong? Lantas mana yang kamu sebut luka?

Maka aku memberanikan diri untuk memasuki gedung itu. Baik aku maupun dia, maksudnya gedung itu, tidak saling memiliki. Mungkin ada batasan-batasan tertentu sebagai suatu hal yang tidak punya hak milik untuk tidak dimasuki terlalu dalam, misalnya hati seseorang yang kamu cintai diam-diam,
“Tapi sekali lagi ku ingatkan, lukaku tetap pada gedung tua itu. Atau bagaimana jika aku mengajakmu ke dalam juga? Bagaimana kalau kita mengelilingi gedung besar ini supaya aku bisa menceritakan tiap-tiap kenangan di setiap sudut ruangnya? Tidak lama kok, paling juga setengah hari.
Aku tidak akan memaksa, jika kamu tidak berminat ikut, kamu bisa ngopi didepan sama pak becak. Tapi kalau kamu ikut jangan kaget saat tiba-tiba aku nanti berlutut menangis di depan sebuah ruang atau tertawa lebar bergulung di rumput taman.

Bagaimana? Deal?”

Thursday, October 18, 2018

(masih) Ingin mati

Sebetulnya aku ingin sekali mengatakan bahwa aku punya alasan mengapa aku masih hidup di dunia. Klise memang, hanya karena seseorang atau beberapa orang yang ku anggap penyemangat. Aku masih cukup kuat melanjutkan hidup karena penyakitku yang tidak kronis dan tidak butuh perawatan intensif.

Bicara soal penyakit, relatif sekali jika mengatakan bahwa aku memiliki penyakit yang tidak terlalu serius atau menganggapnya tidak cukup berarti. Aku benar-benar ingin mati cepat. Aku sudah tidak sanggup menahannya dan hidup dengan penyakit ini setiap harinya. Hanya saja aku yang tak tampak begitu payah dengan badan yang masih terlihat segar bugar. Disisi lain aku sangat rapuh, sangat menderita dibuatnya. Fase dimana aku setiap hari merasa sekarat dan semakin merasa tidak ada orang lain yang lebih tidak beruntung selain aku.

Maaf Ibu

Apalagi yang perlu diperjuangkan, di kala diri tak ingin beranjak Jangankan untuk sembuh, untuk menjadi lebih bermanfaat saja enggan Ibu, ...