Sore ini sedikit berbeda. Biasanya aku hanya berbaring di tempat tidur sambil main hp atau sekadar bermalas-malasan, tapi kali ini diajak adikku pergi menemaninya ke toko buku bekas di tengah kota. Aku yang jarang mengendarai sepeda motor pun disuruh membonceng adikku yang sedang asik memainkan ponselnya.
Selama perjalanan ada beberapa kali aku melakukan kesalahan seperti lupa membenarkan posisi kaca spion hingga tak jarang berbuat ceroboh yang mengarah hampir menabrakkan motor dengan pengendara lain. Semua tampak biasa saja hingga setelah membeli buku bekas, tepatnya saat akan pulang aku menyabrang ke seberang jalan dengan teledor hingga tak memerhatikan bahwa ada kendaraan yang melaju kencang dari kanan. Sontak adikku teriak dan 'nyebut' sambil menepikan aku ke tempat yang lebih aman. Dalam teriakannya ia tegas menyuruhku berpindah ke jok belakang dan duduk saja diboncengnya. Setelah berpindah meluncurlah perkataan-perkataan yang tidak ku sangka meluncur dari mulut adikku yang sungguh amat bijak di usianya yang terpaut lima tahun dariku.
Sebenarnya adikku menangis bukan karena aku saja, tapi lebih terbawa perasaan oleh salah satu saudara kami yang baru beberapa hari lalu meninggal dunia karena kecelakaan di jalan yang kami lewati saat menuju ke toko buku bekas hari ini. Sebelum mengata-ngataiku sebagai kakak yang tidak becus, adikku mengatakan banyak hal yang betul adanya. Kata adikku, kalau ingin mati jangan mengajak orang lain, sebab ia masih ingin kuliah sampai s3. Adikku juga bilang kalau setiap hari mamaku mengajak ngobrol via Whatsapp jika mama sering mengeluhkan tingkahku yang cenderung egois dan susah diatur.
Pemikiranku tentang ketidaksembuhan diri sering dikeluhkan mama pada adikku disela jam sekolah setiap harinya. Berulang kali adikku mengatakan bahwa ia sekarang tahu apa yang dirasakan mama selama ini, selama merawat aku yang sakit namun tak ingin sembuh ini. Adikku tahu betapa hancur perasaan mamaku mengerti anak pertamanya yang sering mengatakan bahwa hidupnya telah berantakan. Adikku berkata,
"Jangan lihat aku, jangan lihat ayah, coba kasihan sama mama aja." kepadaku yang tampak biasa saja menghadapi seorang adik yang bercerita dalam isak tangis selama perjalanan pulang dari toko buku ke rumah.
Sekonyong-konyong adikku mengatakan bahwa sampai kapanpun nanti ia yang akan bertanggung jawab atas kedua orangtua dan aku, kakaknya yang tak tahu diri dan lebih mirip anak usia lima tahun ini tingkah perilakunya. Ia menangis dengan sangat keras hingga bahunya naik turun. Saat lebih tenang ia menanyakan padaku mengapa aku tidak ingin sembuh dan menyinggungku tentang kepercayaan akan Tuhan. Cerita perjalananku beragama ditanyai dengan sangat detail oleh adikku yang kini menatapku nanar, seperti tidak menyangka aku menjawab pertanyaannya dengan lugas. Semua baik-baik saja sampai adikku mengatai diriku iblis. Katanya ia sedang bicara tidak dengan kakaknya yang biasa ia kenal, bukan anak mama dan ayah, bukan seorang Hanny yang sehari-hari dikenal agamis dan relijius.
Aku meminta agar berhenti ke restoran ayam untuk memesan minuman melalui layanan drive thru. Adikku mengiyakan sambil menyeka sisa-sisa tangisannya. Aku mulai berpikir jernih, merasa iba atas apa yang dirasakan adikku padaku dan kemarahannya yang kali ini lebih jelas disebabkan oleh aku. Aku meminta maaf walau seperti tidak serius. Adikku terus menyalahkanku yang tidak mau bangkit dari keadaan sakit.
Belum sampai disitu, ternyata adikku masih menangis hingga hampir mencapai rumah. Ia berhenti di supermarket dekat rumah dan menyuruhku pulang sendiri. Ia sedang menenangkan tangis sendirian dan menyuruhku mengatakan pada mama bahwa ia sedang ada acara dengan teman sekolahnya dan nantinya pulang sendiri menggunakan ojek online. Hatiku hancur seketika. Adikku, yang lebih bisa disebut kakak sedang melindungiku dari amukan mama dan ayah. Ia berbaik hati untuk tidak menceritakan kejadian tadi pada orangtua kami.
Selanjutnya di perjalanan pulang sendiri aku merenung, berpikir untuk menuangkan perasaan ini kedalam sebuah cerita. Meminum obat malam dan mungkin akan menghubungi psikologku untuk mencari kekuatan, menceritakan juga kejadian barusan sambil menyelesaikan tulisan ini. Yah bagaimana ya, memang begini adanya, mau diapakan lagi?